The forgotten snow dust…

The Green-Haired Girl – part 1

Seekor elang terbang berputar-putar di atasnya, segera ia mengangkat satu tangannya, membuat elang berbulu keabuan tersebut melesat turun, mendekati jendela dan hinggap dengan patuh. Diambilnya kartu kecil yang dililitkan di kakinya, dan elang tersebut sontak pergi, kembali menuju pemiliknya.

“Dari siapa kali ini, Ersh?”
“Eversnork, kota utara,” sahutnya dengan nada malas, “Aku heran, kenapa tempat itu dikatakan kota utara, sejak kapan ada kota di utara yang tidak dingin? Merepotkan saja, lagipula sekarang hampir musim panas, pasti di sana panas sekali!” Kembali ia menjatuhkan diri di kasur kecilnya dengan selingan tawa Shurral di kursi sebelahnya, “Shurral, gantikan aku ya?”

“Dasar pemalas! Aku juga ada kerja, tahu!”
“Kerja apa? Toh tiap hari kau hanya menggangguku.”
“Aku kan sedang mengawasi muridku yang manis ini,” ditahannya kedua tangan Ersh di permukaan kasur dengan tangan kanannya, Ersh meronta, berusaha melawan, tetapi gagal, “iya, kan, Ersh?” ia berbisik di telinganya.
Ersh membuang muka, tidak pernah berhasil menghadapi gurunya yang memang tebilang aneh, Shurral, yang lalu tertawa dan bangkit dari tubuh Ersh, “Yasudah, berangkat sana, siapa tahu mereka akan memberimu imbalan yang lebih kalau kau datang cepat.”
“Seenaknya, mana ada yang seperti itu?”
“Kan kubilang ‘siapa tahu’?”
“Ah, sudahlah, berbisara denganmu tidak akan ada habisnya!” Ersh langsung bangkit, berlari keluar dari pondok kecilnya, meninggalkan angin kecil dari udara yang terbelah oleh tubuhnya.

*****

“Nah,” Ersh membuka pintu dengan kasar, membuat orang-orang di dalamnya terlonjak, “Siapa makananku selanjutnya?” dengan santai ia berkata tanpa melepaskan scarf yang menutupi wajahnya.

Seseorang tua di ruangan itu menunjukkan gambar seseorang berambut hijau panjang, “Gadis ini bernama Irish, dia biasanya berada di sekitar hutan.”

Ersh memandang gambar itu, agak bingung, wajah gadis itu bukanlah wajah orang jahat, setidaknya dalam perhitungan Ersh. Ia terdiam sebentar, memandangi gambar itu. Tanpa sadar, mulutnya bergumam, “Sepertinya aku mengenalnya…”

“Ah, be… benarkah, tuan?” orang tua itu panik, Ersh melayangkan pandangan ke arahnya, tatapan dingin seperti biasa, “Ka… kalau begitu… ka… kalau ia adalah kenalan anda, tolong, ba… bawa saja ia pergi,” suaranya bergetar mengikuti tubuh kecilnya, “di… dia… dia pasti Penyihir! Penyihir penculik anak-anak! Se… sejak ia datang anak-anak di sini mulai menghilang. Dan kami pernah memergokinya membawa mere…”
“Cukup! Aku tak berminat mendengarnya, cukup ‘melenyapkan’ dia dari kota ini kan?” Ersh berlalu tanpa terlihat, bahkan sebelum siapapun sempat menjawab.

*****

Di dalam hutan, ia melesat gesit di antara pepohonan.  Mencari tanda-tanda keberadaan seorang manusia di hutan itu. Hingga ia menemukan sebuah pohon besar dengan celah di bawahnya, curiga, ia memasukinya.

“AAA!” jeritan itu terdengar dari seorang berjubah panjang, yang juga menutupi wajahnya, tapi Ersh tidak peduli, ditariknya jubah itu hingga terlihat siapa di dalamnya.

Gadis kecil berambut hijau itu spontan terduduk menutupi tubuhnya yang tak tertutup sehelai benangpun, ia menunduk dan memejamkan matanya erat. Ersh menghunuskan pedangnya dan sekuat tenaga mengayunkannya pada lehernya.

Trang!
Pedang itu terlempar keluar, suatu hal yang mustahil terjadi karena tempat itu tertutupi akar-akar pohon di sekitarnya. Kaget, Ersh membisu di tempatnya berdiri, tak pernah sekalipun ia mengalami hal seperti itu, gadis itu juga tetap pada posisinya.

Sekian menit berlalu dalam diam, hingga akhirnya Ersh menghela napas dan memberikan gadis itu kain sobek yang berada di tangannya, “Apa kau sebenarnya?”

Gadis itu menengadah, mengambil jubah itu dan cepat-cepat memakainya, Ersh menunggu gadis itu mengatakan sesuatu, “berdiri!” perintahnya.
Gadis itu menurut, sambil memegang bagian jubahnya yang sobek, ia berkata pelan, “Irish.”
“Aku tidak menanyakan namamu, aku bertanya, ‘apa kamu ini sebenarnya?’ Jawab!” Dilayangkannya tangan kanannya ke pipi kiri gadis itu, tetapi tak terjadi apa-apa, tangannya menembusnya, “Lihat? Karena itu aku bertanya, APA kau sebenarnya?”

“A… aku tidak tahu…”
“Mana mungkin kau tidak tahu!”
“A… aku benar-benar…”
“Jawab!”
Irish tetap diam, tampak jelas kebingungan. Ersh menghela napas kecewa, “Irish ya..?” ia lalu mendekatinya dan mengelus pipi Irish lembut, kali ini ia dapat menyentuhnya, tampak samar-samar simbol yang berasal dari matanya, “pantas saja, ‘dia yang tak ada dalam takdir’…”
Gadis itu mengedip bingung, seolah tidak peduli, Ersh berkata lagi, “Kalau begitu aku benar-benar tak bisa menghilangkanmu!”

Ersh lalu menyendarkan dirinya di bagian pohon yang berfungsi sebagai dinding, berpikir. Gadis itu kembali bergerak, diambilnya benang dan jarum dari peti besar di dekatnya, dan menjahit jubahnya sambil memakainya.

“Kau tak punya baju?” Tanya Ersh saat melihatnya menjahit, “Pakailah baju apa saja, baru kau jahit jubah itu, bisa saja kau tertusuk jarum saat menjahitnya.”

“Tidak ada,” jawab Irish sambil tetap menjahit, “Di rumahku di pinggir desa itu ada, tapi orang-orang desa mengambil semua benda di dalamnya, termasuk bajuku.”
“Kenapa tidak pindah saja ke tempat la… ups, kau tetap harus melewati desa itu ya?”
“Ya, lagipula apa ada tempat yang membiarkan orang tanpa pakaian lewat?”
“Dan mereka membiarkanmu dalam keadaan seperti itu?”
“Ya.”
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu.”
“Apa ada hubungannya dengan anak-anak?”
“Mungkin… ouch!” Jarum di tangannya mengenai badannya, ia meringis pelan, dan terus menjahit.

“Sudah kukatakan, lepaskan saja jubahmu, baru jahit. Aku tidak tertarik dengan badanmu dan tidak akan menyerangmu, dan kalaupun aku ingin, aku tidak akan bisa melakukannya.”
Irish memandang Ersh dengan pandangan ragu, lalu tetap menjahit jubahnya tanpa melepasnya.
“Dasar keras kepala!” Ersh lalu keluar dari tempat itu meninggalkannya sendiri, terdengar oleh Irish siulan kecil, tak berapa lama, ia kembali, “Pakai ini dan lepaskan jubah bodoh itu!”

Irish memandangi gumpalan kain yang dilemparkan oleh Ersh, Ersh lalu berkata lagi, “Aku akan keluar sebentar, dan ketika aku kembali, kau harus sudah memakainya, titik!” Ia lalu melenggang pergi, dan kembali tak berapa lama kemudian.

“Itu lebih baik,” ujar Ersh lagi, memandangi Irish “Sekarang, ikut aku pergi dari desa ini!”
“Ta… tapi anak-anak di desa… umm… baiklah…”
“Apa yang kau lakukan pada mereka?”
“A… aku tidak melakukan apa-apa!”
“Jangan bohong!”
“A… aku…,” air mata bergulir turun membasahi pipinya.
“Ah, dasar perempuan,” Ersh lalu keluar, Irish mencoba mengikutinya tetapi ia menghilang, tanpa jejak.

*****

“Anda… orang yang dipanggil kepala desa… kan?”  seorang lelaki muda mendekatinya dengan ragu, Ersh meminum minumannya dan mengangguk. Orang-orang dalam bar sontak mendekatinya, “Apa anda telah… me… menyingkirkan dia?”

Ersh menghabiskan Liquor-nya dengan tenang seraya meliriknya tajam, membuat orang itu bergidik ngeri dan mundur beberapa langkah, Ersh kemudian bangkit dan bertanya pada mereka, “Apa yang kalian tahu tentang dia? Apa yang dia lakukan?”
Tak seorangpun menjawab, tetapi bisikan-bisikan rendah memenuhi seisi bar, “Jawab!” teriak Ersh tak sabar.

“Ka… kami tidak tau banyak. Kami menemukannya tak sadarkan diri di pinggir pantai utara, dan dia tak mengingat apapun,” jawab salah seorang dari mereka. Seorang lainnya menyambung, “Juga, sejak kami menemukannya, satu per satu anak-anak di tempat ini menghilang, kami pernah melihatnya sedang membawa Sala menuju hutan, jadi kami pikir… dia…”

Pemuda itu tak melanjutkan kata-katanya, kembali bisikan rendah memenuhi ruangan. Ersh tak memerlukan lanjutan dari perkataan itu untuk dapat mengerti, “Lilith… atau Lilim?” desisnya, “Tak kusangka makhluk-makhluk seperti itu masih ada di sini,” Ersh berpikir sejenak, “Kapan terakhir kali ada anak yang menghilang?”
“Sekitar 3 hari yang lalu.”
“Oh,” Ersh meninggalkan uangnya di atas meja dan berjalan keluar bar tanpa mempedulikan seisi bar yang masih membicarakannya.

*****

Irish melihat keluar, memperhatikan matahari yang terbenam indah di depannya. Hawa dingin mulai menyusup memasuki ‘rumah pohon’nya, tetapi ia terlindung oleh pakaian yang diberikan oleh Ersh menghangatkannya.

“Lilim… kah? Atau Lilith? Yah, sebenarnya yang manapun juga tak ada bedanya sih…” tanya Ersh yang tiba-tiba turun dari dahan pohon besar itu, mengagetkan Irish yang sedang melamun.
“Waaa!” Irish spontan mengibaskan tanggannya pada Ersh, membuat angin bergerak cepat ke arahnya dan membuatnya terluka.

Ersh memandang Irish dengan jengkel, “Nah, aku akan membawamu pergi dari sini, walau begitu, ada satu hal yang mengganggu pikiranmu sehingga kau tidak ingin pergi dari sini, kan? Apa itu? Katakan!” Irish memalingkan muka, tak menjawab.

Ersh juga tidak menanggapinya, ia duduk di rerumputan, memandangi desa berlatar belakang matahari yang terbenam perlahan, mengawasi desa, hingga matahari benar-benar hilang dari pandangan dan hari benar-benar menjadi gelap.

“Sedikit lagi,” gumam Ersh, memasang telinga dan matanya baik-baik, menajamkan semua inderanya sebisa mungkin, sementara Irish yang duduk di sebelahnya terlihat makin khawatir.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu, kunang-kunang berkumpul di sekitar Irish membuatnya seolah bercahaya, Ersh tertawa kecil melihatnya.
“Apa yang lucu?”
“Tidak apa, hanya saja kau telah membuatku benar-benar yakin bahwa kau adalah ‘dia-yang-tak-ada-dalam-takdir'”
“Ah, kamu sempat mengatakan hal itu sebelumnya, apa maksudnya?”
Erhs terdiam sejenak, menyusun kata-kata untuk menjelaskan, di saat yang sama, Irish mendengungkan lagu yang, tanpa sepengetahuannya, merupakan lagu favorit Ersh.

“Nah, bisa kumulai?” Ersh memotong lagunya, tersenyum, Irish mulai menyimak, “‘dia-yang-tak-ada-dalam-takdir’, seperti ‘istilah’nya, kamu tak tercatat dalam takdir, juga merupakan orang yang dilindungi olehnya. Aneh memang, aku juga awalnya tidak yakin bahwa sang takdir bisa memilih keputusannya sendiri, dan aku baru percaya hal seperti itu ada saat melihatmu,”  Ersh mendekatkan tangannya ke pipi kiri Irish, menyusuri simbol entah apa yang tercetak di kulitnya, “Ini… adalah simbol yang mendukung pernyataanku tadi.”
“Simbol? Simbol apa?”
“Kau tak pernah melihatnya?”
Irish menggelengkan kepalanya perlahan, “Tidak.”

“Hmmm…,” Ersh mengelus kepala Irish lembut, “yah, itu tidak penting. Hal lain lagi, aku tak bisa sedikitpun melukaimu, kalau ada hal buruk yang ditujukan padamu,” Ersh mengangkat pisau kecilnya, dan menusukkannya ke kepala Irish, pisau itu terpental sementara tangan Ersh menembus tubuh Irish, “Inilah yang akan terjadi…”
“Aku… baru ta…”
“AAAAK!” Suara teriakan melengking dari pinggir hutan. Serempak desa yang sebelumnya sunyi itu menjadi ramai. Ersh berdiri, dalam beberapa detik sudah berlari membawa Irish.

“A… Apa yang kamu lakukan?!” Irish yang tak terbiasa dengan kecepatan memegang Ersh erat, panik.
“Bukankah sudah jelas?”

Mereka tiba di desa, dimana Ersh langsung menyerahkan Irish pada orang yang memanggilnya, memintanya untuk mengawasinya, dan pergi lagi. Suara teriakan itu terdengar makin keras, memekakan telinga.

Irish mondar-mandir di rumah kepala desa, merasa tak nyaman, kadang ia melihat ke luar, seolah mencari sesuatu, lalu kembali mondar-mandir di sekeliling ruangan. Kepala desa yang melihatnya bingung, saat ditanya Irish malah balik bertanya, “Apa kalian mendengar sesuatu?”
“Hah? Kami tidak mendengar apa-apa. Memangnya ada apa?” jawab kepala desa seraya memberi Irish teh hangat. Anaknya keluar dari dalam dan langsung memeluk Irish, “Kakaak!”
“Ah, terimakasih. Iya, Lala, lama tidak bertemu,” Irish meminum sedikit tehnya, “Aku… yah… mendengar sesuatu.. yang membuatku agak pusing…”
“Yah, jujur, aku memang merasa agak pusing saat ini,” tambah kepala desa.
“Lala juga! Senuut senuut begitu!”
Lala dan ayahnya tertawa, sementara Irish kembali melayangkan pandangan khawatir keluar.

“Ersh…”

–to be continued to part 2 😛 —

11 responses

  1. Pingback: Happy birthday… to us? « Reina Lunarrune

To Leave Your Mark: